Mengenang Para Guru Ngaji, dari Masa Lalu Hingga Kini, Ini Perbedaan dan Perbandingannya!

Daftar Isi

Mengenang Para Guru Ngaji, Dari Masa Lalu Hingga Kini Artikel ini membahas perbandingan nasib guru ngaji di zaman sekarang dan zaman keemasan Islam, serta urgensi sinergi untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.

Gambaran guru ngaji zaman sekarang

Suatu hari, ada seorang perempuan yang mengajar ngaji anak-anak di rumah salah seorang tetangganya. Ia harus berjalan kaki selama 10 menit untuk sampai ke sana. Ia mengajar enam hari dalam seminggu. Ia memiliki tiga murid yang rajin belajar.

Di bulan pertama, ia mendapat gaji 100 ribu rupiah. Namun, di bulan kedua, ia tidak mendapat apa-apa. Padahal, orang yang mengundangnya tampak kaya raya. Rumahnya besar, memiliki usaha penggilingan padi dan travel. Sementara itu, si perempuan guru ngaji hidup sederhana.

Itulah gambaran nasib guru ngaji di zaman sekarang.

Gambaran guru ngaji zaman dulu

Mari kita beralih ke masa lalu. Ke zaman keemasan khilafah Bani Abbasiyah. Di sana, kita dapat melihat betapa besarnya perhatian negara kepada para ulama, dan betapa besarnya gaji para guru ngaji dan ulama saat itu.

Dalam kitab an-Nafaqât wa Idâratuhâ fî ad-Daulah al-‘Abbâsiyyah, karya Dr. Dhaifullah az-Zahrâniy (hal. 202) disebutkan, bahwa gaji para pengajar di zaman itu setara dengan gaji para mu'adzin. Yaitu sebesar 1000 dinar pertahun (-+ 3,9 M, berarti perbulan 325 juta).

Sedangkan para ulama yang fokus dengan al Qur'an, yakni mengajar ilmu al Qur'an dan juga mengurus para santri, gajinya adalah 2.000 dinar (-+ 7,8 M, berarti perbulan 650 juta).

Adapun ulama dengan keahlian khusus yang mengkaji ilmu-ilmu al Qur'an, mengumpulkan riwayat hadits dan juga ahli ilmu fiqih memperoleh gaji 4.000 dinar pertahun (-+ 15.6 M, berarti gaji perbulan 1,3 M).

Selain gaji umum, tercatat ada beberapa ulama yang diberi gaji khusus oleh negara karena kontribusinya yang dianggap luar biasa. Misalnya di masa Khalifah al Watsiq, ia memberi gaji seorang ulama yang bernama al-Jari, awalnya 100 dinar perbulan (-+ 390 juta), lalu ia menaikannya menjadi 500 dinar (-+ 3,9 M)!  Khalifah Harun ar-Rasyid pernah memberi Imam Malik dana sebesar 3000 dinar (-+ 11,7 M) untuk membeli rumah.

Inilah salah satu rahasia mengapa ilmu dan peradaban umat Islam berkembang di masa itu. Karena para guru dan ulama ditempatkan sebagai pahlawan dengan penghargaan penuh! Pemerintah sangat menghormati mereka.

Sinergi yang Dibutuhkan

Jika kenyataannya pemerintah belum optimal dalam menjalankan kewajibannya, maka kita tidak boleh menyerah begitu saja. Justru perlu ada sinergi antara semua pihak yang peduli dengan kelangsungan dakwah Islam.

Para pemilik lembaga pendidikan seharusnya menjadikan kesejahteraan para guru sebagai prioritas utama lembaganya.

Para takmir masjid seharusnya lebih menghargai para khatib, imam dan muadzin, dengan memberikan insentif yang lebih pantas bagi mereka.

Begitu pula para panitia pengajian.

Selanjutnya adalah para orang kaya. Mereka seharusnya menjadikan salah satu pos penting infaknya adalah kepedulian terhadap kesejahteraan para guru ngaji. Sehingga waktu mereka bisa lebih optimal digunakan untuk mengajar dan berdakwah.

Pahamilah bahwa ikhlas itu tidak berarti mengabaikan kesejahteraan para guru ngaji. Justru dengan memenuhi kebutuhan materi mereka, akan membantu mereka untuk ikhlas dan fokus dalam mengajar. Tidak lagi kelelahan mencari penghasilan tambahan, hanya untuk membeli susu bubuk si kecil. Atau bingung mencari uang tambahan untuk membayar sewa rumah yang sudah jatuh tempo.

Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 6 Dzulhijjah 1444 / 25 Juni 2023

Sumber tulisan: Abdullah Zaen, Lc., MA

Posting Komentar