cfFp0twC8a3yW2yPPC8wDumW5SuwcdlZsJFakior
Bookmark

Pengertian Qodlo dan Qodar dan Perbedaannya Menurut Ahlus Sunnah Wal Jama'ah

"Jelajahi pengertian Qada dan Qadar dalam Islam: Keputusan Ilahi dan Pilihan Manusia – Perspektif Ahlus Sunnah."

Definisi Qodlo' dan Qodar

Definisi qodlo' dikalangan ulama' Asy'ari adalah ketentuan Allah terhadap sesuatu yang bersifat azali (dahulu) dan tidak mungkin dirubah. Sedangkan qodar adalah perwujudan dari ketentuan Allah terhadap sesuatu dengan kadar yang kehendaki-Nya. 

Jadi qodlo' menurut mereka bersifat qodim (dahulu), namun qodar bersifat hadits (baru). Sedangkan dikalangan ulama' Maturidi devinisi qodlo' dan qodar adalah kebalikan devinisi diatas.

Pekerjaan hamba

Terdapat perselisihan jauh antara Ahlusunnah wal jama'ah dan Mu'tazilah mengenai pekerjaan hamba. Apakah pakerjaan hamba tersebut ciptaan Allah ataukah ciptaan hamba sendiri?

Ulama' Ahlussunnah bersepakat bahwa pekerjaan hamba yang baik maupun yang buruk adalah ciptaan Allah SWT. Karena Allah-lah pencipta seluruh makhluk sekaligus pekerjaan mereka, sebagaimana firman-Nya:

إنا خلقنا كل شيء بقدر

"Sesungguhnya kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran (takdir)." (al-qomar: 49)

والله خلقكم وما تعملون

"Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat" (as-shofat: 96).

Dan sabda Rosulullah:

كل شيء بقدر حتى العجز والكيس

"Segala sesuatu diciptakan dengan ukuran (takdir) bahkan yang lemah maupun yang cerdik." (HR. Muslim/2655) dan masih banyak lagi dari nash-nash yang datang mengenai hal itu.

Semua makhluk musakh-khor (diatur)

Perlu kita ketahui bahwa keberadaan hamba "diatur" dibawah naungan qodlo' dan qodar bukan berarti menafikan qudroh (kemampuan) dan keinginannya. Karena sesuatu yang "diatur" ada dua macam: majbur (terpaksa) atau mukhtar (memilih). Contoh sederhana "terpaksa" seperti pisau dan pulpen yang ada ditangan penulis, sedangkan "memilih" seperti penulis yang leluasa untuk menulis kehendaknya. Pendapat itu diperkokoh perkataan Sayyidina Ali:

لا جبر ولا قدر بل أمر بين الأمرين

"Bukanlah sekedar paksaan, bukan pula sekedar kemampuan hamba, namun perkara diantara keduanya." (Kanzul 'Ummal: 1567).

Oleh karena itu madzhab ahlus sunnah adalah madzhab mutawassith (moderat), bukan madzhab yang ifroth (ekstrem) seperti kelompok "jabariyah" yang mengatakan bahwa semua pekerjaan hamba adalah takdir yang telah lalu tanpa adanya kaitan dangan qudroh haditsah (kemampuan yang baru). Bukan pula madzhab yang tafrith (liberal) seperti kelompok "qodariyah" dan "mu'tazilah", dimana mereka mengatakan bahwa adanya pekerjaan yang bersifat ikhtiyari (memilih) disebabkan qudroh haditsah dari hamba bukan kehendak Allah.

Imam Ahmad ad-Dardiri di dalam kitabnya [Syarh al-Kahoridah al-Bahiyyah] memberikan pencerahan kepada kita, bahwa qudroh itu ada dua: qudroh milik Allah yang bersifat qodim (dahulu) dan qudroh milik makhluk yang bersifat hadits (baru). 

Perbedaannya, bahwa qudroh Allah telah tercermin terhadap segala sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya mulai belum ada hingga ada. Pencerminan tersebut dinamakan ijad (perwujudan). Namun qudroh makhluk hanya berkaitan dangan pekerjaan yang bersifat ikhtiyari (yang bisa dipilih) tanpa adanya ijad, hal itu dinamakan al-kasbu dan al-iktisab (usaha) sebagaimana firman Allah:

لها ما كسبت وعليها ما اكتسبت

"Ia mendapat pahala dari kebaikan yang diusahakan dan ia mendapat siksa dari kejahatan yang dikerjakan."

Abuya Sayyid Muhammad al-Maliki rohimahullah dalam hal ini juga berkomentar, "Bahwasanya seorang hamba diberi wewenang memilih (ikhtiyar) dalam amalnya, tidaklah dia terpaksa (majbur), kenapa? Karena Allah SWT kelak di hari kiamat akan memperhitungkan (hisab) amal-amalnya. Bila Allah tidak memberikan ikhtiyar terhadap hambanya, maka hisab (perhitungan) dikala itu adalah hal yang sia-sia".

Dawuh Abuya berlanjut:

Jika ada seorang hamba yang komplain kepada Allah: "wahai tuhanku, engkaulah yang mentakdirkan aku mejadi orang kafir dan ahli maksiat mulai waktu azali (dahulu), mengapa Engkau menyiksaku?".

Kala itu Allah akan menjawab: "wahai hambaku, apakah kamu tahu ketika kamu kafir atau maksiat --hingga kamu mati dalam keadaan itu--, dengan lantaran itu kamu akan masuk neraka?

Jika hamba itu menjawab: "iya, saya tahu" --hal itu mustahil--, Allah akan membalik pertanyaan: "Kalau kamu tahu mengapa tidak masuk islam atau bertaubat, sehingga kamu aman dari siksaku?".

Jika hamba manjawab: "Tidak tahu --itu adalah pasti--, Allah akan menjawab: " Ini adalah perkara yang tidak kamu ketahui dan perkara yang akan Ku perhitungkan. Dan dengan sebab itu--kafir dan maksiat-- kamu akan Aku siksa".

Ungkapan Abuya diatas sebagai contoh bagi kita untuk mendekatan pemahaman. Karena Allah tidak layak untuk ditanya-tanya, akan tetapi hamba-lah yang akan ditanya, sebagai mana firman-Nya:

لا يسئل عما يفعل وهم يسئلون

"Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanya." (al-Anbiya': 19)

Apakah Do'a berpengaruh?

Dalam sebuah hadits Rosulullah SAW bersabda:

لايرد القدر إلا الدعاء

" Tidak ada sesuatu yang mampu menolak takdir selain do'a".

Para ulama berselisih pendapat dalam memahami makna hadits diatas dalam dua kelompok:

1- Maknanya adalah, bahwa Allah SWT mentakdirkan segala sesuatu bahkan do'a. Jadi perbuatan do'a sekaligus pengkabulan (ijabah)-nya adalah takdir Allah SWT.

2- Dalam menentukan segala sesuatu, Allah SWT memiliki dua tempat. Tempat pertama adalah "Lauhul mahfudz" dan tempat kedua adalah "Ummul kitab". Mungkin saja bagi Allah menghapus atau menetapkan ketentuan yang tertulis dalam "Lauhul mahfudz", akan tetapi Dia tidak mungkin menghapus ketentuan yang tertulis dalam "Ummul kitab", sebagaimana firman-Nya:

يمحوا الله ما يشآء ويثبت وعنده أم الكتاب

"Allah menghapus apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan disisinyalah terdapat Ummul-Kitab".

Amantu billaah.. Wa bimaa jaa'a 'an Rosulillaah..

Wallahu a'lam....

Sumber tulisan: Ust. Muhammad Ja'far, Alumni Rusaifah Mekkah

Posting Komentar

Posting Komentar

close