Hikmah dan Rahasia Kenapa Air Musta’mal Tidak Sah Digunakan Bersuci

Daftar Isi

Makna Penting Air Suci dalam Bersuci

Pentingnya menggunakan air suci dalam bersuci (thaharah) tidak bisa diremehkan, karena syarat sah bersuci hanya bisa terpenuhi dengan menggunakan air yang bersih dan suci (thahir muthahhir). Bila tidak, maka bersuci tidak dianggap sah dan tidak dapat digunakan untuk menunaikan ibadah.

Secara garis besar, air dalam bab thaharah dibagi menjadi dua jenis, yaitu air suci dan najis. Air suci adalah air yang tidak terkontaminasi najis v atau sifat lainnya. Sementara itu, air najis adalah air yang terkontaminasi najis atau air yang telah berubah sifat, warna, dan baunya disebabkan oleh najis.

Lebih lanjut, air suci terbagi secara rinci menjadi beberapa jenis, diantaranya:

  1. Air mutlak, yaitu air yang benar-benar suci dan mampu menyucikan, serta dianjurkan untuk digunakan.
  2. Air musyammas (air yang dipanaskan), yaitu air suci namun sebaiknya tidak digunakan dalam bersuci, kecuali dalam keadaan darurat.
  3. Air musta’mal, yaitu air yang suci namun tidak memiliki kemampuan untuk menyucikan (Ibnu Qasim, Fathul Qaribil Mujib, [Beirut, Dar Ibnu Hazm: 2005], halaman 25).

Ketika melakukan wudhu atau mandi besar, serta saat membersihkan benda dari najis, dianjurkan untuk menggunakan air mutlak. Meskipun, air musyammas juga bisa digunakan, tetapi sebaiknya dihindari kecuali dalam keadaan darurat. Sedangkan air musta'mal tidak boleh digunakan sama sekali untuk bersuci.

Nah, dalam hal ini akan dijelaskan rahasia kenapa air musta’mal tidak bisa digunakan untuk bersuci.

Rahasia Air Musta’mal Tidak Bisa Menyucikan

Air musta’mal adalah air yang telah digunakan untuk menghilangkan hadats. Hadats yang dimaksud mencakup hadats kecil dan hadats besar. Sebagai contoh, air bekas mandi besar dan wudhu juga dapat disebut sebagai air musta’mal. Hal ini dikarenakan air tersebut telah digunakan untuk membersihkan hadats.

Menurut Imam An-Nawawi yang wafat pada tahun 676 H, penggunaan air musta’mal untuk bersuci dianggap tidak sah karena ta’abbudi. Imam An-Nawawi juga menambahkan bahwa di dalam air musta’mal, terdapat bekas-bekas najis ma’nawi yang tidak dapat terlihat secara kasat mata. Oleh karena itu, sebaiknya air bersih digunakan untuk membersihkan diri dari hadats. 

أن أهل البصائر من أهل الله قد كشف لهم عن سر ذلك وروأو أثار النجاسة المعنوية في الماء المستعمل. كان أبو حنيفة من أهل هذا الميدان، ولذا حكم بنجاسة الماء المستعمل

Artinya, “Sungguh ahlul bashair (orang yang bisa melihat hal-hal yang samar), dari golongan orang yang dekat kepada Allah telah dibukakan kepada mereka rahasia air musta’mal, dan mereka melihat bekas-bekas najis yang tidak kasat mata dalam air musta’mal. Imam Abu Hanifah termasuk dalam golongan ini (ahlul bashair). Karenanya ia menghukumi najis pada air musta’mal.” 

Imam Abu Hanifah pernah mengamati bahwa air yang digunakan untuk bersuci oleh orang lain berubah menjadi keruh dan busuk. Air tersebut tidak lagi jernih seperti sebelumnya setelah digunakan untuk membersihkan diri. Hal ini dijelaskan dalam karya An-Nawawi, Fatawal Imam An-Nawawi Al-Musamma Al-Masail Al-Mantsurah, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: 2000], halaman 10.

Hakekat dan tujuan bersuci 

Tujuan bersuci adalah untuk membersihkan badan. Oleh karena itu, menurut Imam Abdul Wahab asy-Sya’rani, tidak masuk akal jika menggunakan air bekas pakai yang sudah rusak dan busuk (musta’mal) untuk membersihkan diri. Pernyataan ini disampaikan dalam kitab karyanya. Sebagai gantinya, sebaiknya menggunakan air bersih untuk membersihkan diri agar dapat menghilangkan hadats dengan efektif.

لطَّهَارَةُ مَا شُرِعَتْ اِلَّا لِتَزَيُّدِ أَعْضَاءِ الْعَبْدِ نَظَافَةً وَحُسْنًا ظَاهِرًا وَبَاطِنًا، وَالْمَاءُ الَّذِيْ خَرَّتْ فِيْهِ الْخَطَايَا لَا يَزِيْدُ الْأَعْضَاءَ اِلَّا تَقْذِيْرًا تَبْعًا لِتلْكَ الْخَطَايَا اَلَّتِي خَرَّتْ فِي الْمَاءِ

Artinya, “Bersuci tidak disyariatkan kecuali untuk menambah bersih dan baiknya anggota badan seorang hamba, baik secara lahir maupun batin. Sedangkan air yang sudah bercampur dengan kesalahan-kesalahan di dalamnya, tidak bisa menambah kecuali semakin kotor, karena mengikuti campuran kotoran-kotoran yang di dalam air.” (Asy-Sya’rani, Al-Mizanul Kubra As-Sya’raniyah, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: 2005], juz I, halaman 130).

Imam asy-Sya’rani menjelaskan bahwa jika keadaan air musta’mal yang sudah bercampur dengan dosa-dosa manusia ditampilkan kepada semua orang, maka mereka tentunya tidak akan mau menggunakan air tersebut untuk bersuci. Hal ini karena air tersebut terlihat kotor dan busuk. Oleh karena itu, sebaiknya menggunakan air bersih untuk membersihkan diri agar dapat menghilangkan hadats dengan efektif.

Hal ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga kebersihan dan kesucian saat melakukan ibadah wudhu. Sebagai upaya untuk membantu dalam menjaga kebersihan, sebaiknya menggunakan air bersih dan menghindari penggunaan air musta’mal yang dapat membahayakan kesehatan dan kesucian diri.

Penjelasan di atas sejalan dengan hadis dari Rasulullah saw yang menyatakan bahwa orang yang menyempurnakan wudhunya akan mendapatkan pengampunan dosa-dosa dari badannya. 

مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ خَرَجَتْ خَطَايَاهُ مِنْ جَسَدِهِ

Artinya, “Barangsiapa yang berwudhu kemudian menyempurnakannya, maka keluarlah dosa-dosa dari jasadnya.”(HR Muslim).

Baca juga: 15 hadits terindah tentang kesehatan dan kebersihan

Dalam konteks membersihkan diri, penggunaan air musta’mal sebagai alat bersuci dianggap tidak sah karena memiliki beberapa risiko kesehatan dan kebersihan. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang lebih dalam mengenai rahasia-rahasia di balik keputusan tersebut. Dengan mengetahui hal ini, diharapkan umat Muslim dapat menjaga kebersihan dan kesucian diri dengan lebih baik.

Demikian penjelasan perihal rahasia-rahasia di balik alasan tidak sah menggunakan air musta’mal sebagai alat bersuci. Wallahu a’lam.

Foto: peci.org

Posting Komentar