Mengupas Misteri Lailatul Qadar Menurut Gus Baha: Keyakinan dan Penentuan Waktunya

Daftar Isi

Lailatul Qadar, malam yang dijuluki sebagai malam seribu bulan ini, menjadi momok yang menarik untuk diungkap kebenarannya. Gus Baha, seorang Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, memberikan penjelasan tentang keistimewaan malam tersebut. Dalam artikel ini, kita akan membahas penjelasan Gus Baha mengenai keyakinan dan penentuan waktu Lailatul Qadar.

Keyakinan Mendapatkan Keberkahan Lailatul Qadar

Gus Baha menyatakan bahwa keyakinan mendapatkan keberkahan Lailatul Qadar didasarkan pada sebuah kitab klasik, kitab-kitab hadits karya ulama kuno. Namun, ia tidak menyebutkan secara spesifik nama kitab yang dimaksud. 

Dalam kitab tersebut disebutkan bahwa Nabi Muhammad merasa resah tentang usia rata-rata umatnya yang tergolong pendek. Lalu Allah SWT merespons keresahan Nabi Muhammad tersebut dengan memberi bonus Lailatul Qadar yang nilainya sama dengan 1000 tahun. 

Gus Baha juga menjelaskan bahwa 1000 bulan sama dengan 83,3 tahun. Oleh karena itu, jika seseorang menjalankan ibadah pada malam Lailatul Qadar, maka nilainya sama dengan beribadah selama 83,3 tahun.

Penentuan Waktu Lailatul Qadar

Gus Baha menyebutkan bahwa terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang penentuan waktu Lailatul Qadar. Namun, beliau menyatakan bahwa Nuzulul Quran, turunnya Al-Qur’an, terjadi pada tanggal 17 Ramadhan. 

Beliau pun mengutip ayat tentang Perang Badar yang terkait dengan turunnya Al-Qur’an ini.

وَمَآ اَنْزَلْنَا عَلٰى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعٰنِ

“…Dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqan, yaitu pada hari bertemunya dua pasukan….” (QS. 8:41).

“Tapi keyakinan saya, ya. Keyakinan saya, yang penting dicari, tapi yakin dapat saja. Yang penting dicari, tapi yang penting yakin dapat,” jelas Gus Baha, menekankan pada keyakinan mendapatkan keberkahan Lailatul Qadar.

Oleh karena itu, jika tanggal tersebut telah menjadi kesepakatan ulama, maka tidak perlu dicari lagi. Meskipun demikian, Nabi Muhammad SAW menyuruh mencari Lailatul Qadar pada 10 akhir Ramadhan. Ada juga ulama yang menduga bahwa Lailatul Qadar bisa jadi mulai tanggal 11 Ramadhan.

Gus Baha menegaskan bahwa yang penting adalah keyakinan dalam mendapatkan keberkahan Lailatul Qadar. Oleh karena itu, asalkan seseorang menghadap kiblat saat shalat dan tidak melakukan maksiat, maka ia dapat meraih keberkahan Lailatul Qadar.

Waktu Ideal untuk Beribadah agar Lebih Produktif dan Berkah

Kegiatan ibadah merupakan salah satu hal penting yang harus dilakukan umat Muslim untuk memperkuat hubungan dengan Sang Pencipta. 

Selain menjadi kewajiban, ibadah juga memiliki banyak manfaat, seperti memperbaiki sikap, menumbuhkan rasa syukur, dan menguatkan iman. 

Namun, ada waktu-waktu tertentu yang lebih baik untuk melakukan ibadah. Salah satunya adalah pada waktu-waktu tertentu di bulan Ramadan, terutama saat mencari Lailatul Qadar.

Mencari Waktu Ideal untuk Lailatul Qadar

Gus Baha, seorang kiai asal Narukan, Kragan, Rembang, menjelaskan bahwa waktu yang ideal untuk mencari Lailatul Qadar tidak selalu sama bagi semua orang. Menurutnya, waktu yang ideal tergantung pada lokasi tempat seseorang berada. 

Misalnya, waktu yang ideal di desanya adalah pada malam ke-17, sedangkan di tempat lain bisa jadi pada malam ke-21 atau ke-23. Namun, secara umum, malam-malam terakhir di bulan Ramadan dianggap waktu yang baik untuk mencari Lailatul Qadar.

Menghargai Al-Quran dan Hadits

Gus Baha juga menekankan bahwa untuk menghargai Al-Quran dan Hadits, kita harus mengambil yang tengah-tengah. Dalam Al-Quran, petunjuk tentang waktu ideal untuk mencari Lailatul Qadar tidak disertai dengan tanggal. 

شَهْرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِىٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلْقُرْءَانُ

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an…” (QS. Al-Baqarah: 185).

Gus Baha menjelaskan, ayat tersebut masih bermakna umum, bukan tanggal tertentu. Oleh karena itu, tak heran jika ada pandangan sebagian ulama yang berpendapat bahwa Lailatul Qadar bisa dimulai sejak tanggal 1 Ramadan. 

Gus Baha menegaskan bahwa yang dimaksud dengan sungguh-sungguh adalah klimaks, sehingga jika ingin mencapai klimaks, sebaiknya dimulai dari tanggal 1 Ramadan.

Kesungguhan Lebih Penting daripada Pencarian

Menurut Gus Baha, kesungguhan dalam beribadah lebih penting daripada mencari Lailatul Qadar pada tanggal tertentu. Hadits tentang Lailatul Qadar menunjukkan bahwa Nabi Muhammad bersungguh-sungguh dalam sepuluh hari terakhir bulan Ramadan. 

"Kalau kamu mencari sungguh-sungguh mulai tanggal 21 (Ramadhan), kata malaikat: ‘Lho, kok baru mencari sekarang?’ Berarti dianggap pemula, kan? Makanya tak dapat, perkaranya pemula. ‘Lho, kok baru mencari?’ Jadi yang lain sudah mulai, sudah waktunya dapat, kamu baru mencari,” bebernya kepada para santri.

“Saya itu sudah start mulai tanggal 1 (Ramadhan). Saya baca Arbain Nawawi khatam. Baca Al-Qur’an juga khatam. Kemarin tanggal 17 (Ramadhan) sudah saya doain. Jadi potensi dapat saya lebih tinggi. Kalau kamu baru mulai tadi, kan? Berarti tak begitu sungguhan, karena baru mulai. Jadi, diumumkan tanggal 1 Ramadhan kamu tidur, pas tanggal 20 (baru) sungguh-sungguh. Berarti ibarat balapan kan sudah kalah banyak,” kelakar Gus Baha menjelaskan dengan logika.

Oleh karena itu, kesungguhan dalam beribadah di waktu-waktu tertentu di bulan Ramadan sangatlah penting. Dan yang seharusnya digaribawahi adalah kesungguhannya itu, bukan pencariannya. Tak ada hadits yang mengharuskan kita mencari Lailatul Qadar tanggal 21 Ramadhan.

Gus Baha menekankan bahwa tidur bagi orang yang berpuasa sudah dianggap sebagai ibadah. 

نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ وَذَنْبُهُ مَغْفُوْرٌ

Tidurnya orang puasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, amal ibadahnya dilipatgandakan, doanya dikabulkan, dan dosanya diampuni” (HR Baihaqi).

Oleh karena itu, setiap kegiatan yang dilakukan selama bulan Ramadan dapat dianggap sebagai ibadah. 

Jadi, menurutnya, aslinya sewaktu-waktu itu ibadah. Tidurnya saja ibadah. “Umat Nabi, menggauli istri saja ibadah. Lho, itu ada hadits sahih,” terangnya, sambil mengutip sebagian hadits yang dimaksud.

عَنْ أَبِى ذَرٍّ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالُوا لِلنَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّى وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ. قَالَ « أَوَلَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْىٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ وَفِى بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأْتِى أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ « أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ

Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Sesungguhnya sebagian dari para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Wahai Rasulullah, orang-orang kaya lebih banyak mendapat pahala, mereka mengerjakan shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, dan mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka’. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Bukankah Allah telah menjadikan bagi kamu sesuatu untuk bersedekah? Sesungguhnya tiap-tiap tasbih adalah sedekah, tiap-tiap tahmid adalah sedekah, tiap-tiap tahlil adalah sedekah, menyuruh kepada kebaikan adalah sedekah, mencegah kemungkaran adalah sedekah, dan persetubuhan salah seorang di antara kamu (dengan istrinya) adalah sedekah’. Mereka bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah (jika) salah seorang di antara kami memenuhi syahwatnya, ia mendapat pahala?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa. Demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia mendapat pahala’,” (HR Muslim No. 2376).

Sampai-sampai, lanjut Gus Baha, ada sahabat janggal, "Nabi, masak bersenggama kok ibadah?

"Lha kalau menggauli istri orang?" jawab Nabi.

Nabi Muhammad dalam menjawabnya juga lucu: "Kalau menggauli istri orang?"

Kan musibah. Berarti kalau menggauli istri sendiri? Ibadah.

Gus Baha meminta agar Lailatul Qadar tak usah diperdalam. Kita mesti yakin saja bahwa itu adalah bentuk kasih sayang Tuhan untuk menggantikan umur umat Nabi yang tak sepanjang umur orang-orang zaman dahulu.

“Itu jelas, saya baca teks, tidak mimpi, tidak mengigau, memang begitu. Biar tidak berlebihan. Jadi itu dari awal sudah bonus, sudah hadiah. Tapi sekarang kita berlebihan: ‘Gerakan Menangkap Lailatul Qadar,’ malaikat ketangkap, ya malu,” seloroh Gus Baha.

“Malah repot; bikin istilahnya itu lho, repotnya. Malaikat itu ‘nur’ kok mau ditangkap. Malah berlarian. Aneh-aneh saja kamu. Jadi, Lailatul Qadri khairum min alfi syahr (QS. Al-Qadr: 2) itu menggantikan umur Nabi Nuh, dan nabi-nabi zaman kuno,” pungkasnya.

Referensi: NU Online 


Posting Komentar