cfFp0twC8a3yW2yPPC8wDumW5SuwcdlZsJFakior
Bookmark

Dalam Permainan Capit Boneka, Apakah Termasuk Perjudian?

Banyak pertanyaan yang muncul di masyarakat mengenai hukum jual beli boneka dengan sistem capit claw. Sistem ini dilakukan dengan adanya mesin capit yang dipasang di dalam boks yang berisikan beragam boneka. 

Apakah Ada Unsur Perjudian dalam Permainan Capit Boneka?

Sebenarnya sistem jual beli seperti ini sudah banyak dipraktikkan di berbagai supermarket di kota besar dan banyak peminatnya mencakup orang dewasa dan anak-anak. Bahkan, permainan ini semakin merambah ke berbagai daerah, ke toko-toko di wilayah pedesaan. 

Pertanyaan yang sering dilontarkan, bagaimana sebenarnya hukum jual beli boneka dengan sistem capit claw tersebut? 

Dalam hal ini, ada 2 ringkasan hasil kajian yang telah tersebar saat ini, antara lain:

Pertama, menurut hasil keputusan bahtsul masail FMPP XXXVII. Pada forum ini disepakati bahwa hukum capit claw dan human claw adalah haram karena illat perjudian (maisir/qimar). 

Kedua, MUI DI Yogyakarta menyatakan hukum capit claw tidak haram karena illat munadhalah atau adu ketangkasan. Uang yang diserahkan dinilai sebagai biaya menggunakan mesin. Sementara itu, boneka yang didapat adalah bagian dari buah keterampilan pengguna mesin. 

Alhasil, boneka itu dinilai sebagai hadiah keterampilan sehingga dipandangnya sebagai tidak haram. Lebih lanjut, fatwa tersebut menempatkan boneka sebagai layaknya poin.

Mengenal Perjudian (maisir atau qimar)

Judi dalam istilah fiqih sering diistilahkan dengan maisir atau qimar. Ciri utama dari judi, adalah sebagai berikut:

عِلّة القمار مَوْجُودَة لِأن كلا مِنهُما دائر بَين أن يغنم ويغرم

Artinya: “Illat perjudian terbentuk karena kedua belah pihak sama-sama berpeluang selaku pemenang dan sekaligus yang kalah.” (Taqiyuddin al-Hishny, Kifayatul Akhyar fi Hilli Ghayatil Ikhtishar, Damaskus: Dar al-Khair, 1994, juz 1, halaman 538).

Berdasarkan ungkapan pendek tersebut, dapat dipahami bahwa perjudian adalah:

(1) Kedua pihak sama-sama mengeluarkan harta.

(2) Kedua pihak sama-sama berpeluang untuk terambil hartanya.

(3) Di dalam permainan capit claw dan human claw, masing-masing pihak (penjual dan pembeli) adalah sama-sama mempertaruhkan harta.

(4) Apabila pihak yang menyerahkan uang tidak bisa menggunakan mesin, maka dia tidak mendapatkan boneka. Alhasil, uangnya hilang, sementara dirinya tidak mendapatkan apa-apa (yughram). Itu sebabnya permainan di atas masuk dalam ranah perjudian, sehingga bukan sekadar praktik gharar (spekulasi) yang masih bisa dishahihkan dengan adanya khiyar. Dan Forum Musyawarah Pondok Pesantren itu menyepakati akan hal ini.

(5) Hukum permainan capit claw dan human claw akan lain ceritanya, apabila setiap peserta dapat dipastikan dapat memperoleh boneka. Apabila kondisi ini terjadi, maka akad yang berlaku adalah bai’ muhaqalah atau munabadzah. Hukumnya masih bisa dishahihkan apabila disertai adanya khiyar. Namun, apabila tidak ada kepastian untuk mendapatkan boneka, sehingga kadang dapat dan kadang tidak, maka permainan itu adalah murni perjudian (maysir).

Pengertian Munadhalah atau Adu Ketangkasan

Munadhalah (adu ketangkasan) adalah bagian dari akad musabaqah (perlombaan adu cepat). Tujuan dari disyariatkannya munadhalah adalah untuk uji keterampilan.

المناضلة إنما تراد ليعرف بها فضل أحدهما على الآخر، فكانت موضوعة على التساوي

Artinya: “Yang dikehendaki dari permainan adu ketangkasan adalah untuk mengetahui kelebihan salah satu pihak atas pihak lainnya (dalam hal ketangkasan). Oleh karena itu, konteks yang berlaku adalah kesamaan dalam hal keterampilannya.” (Al-Umrany, Al-Bayan fi Madzhab al-Imam al-Syafii, Jiddah: Dar al-Minhaj, 2000, Juz 7, halaman 448).

Satu hal yang perlu diperhatikan, bahwa baik akad musabaqah maupun munadhalah, merupakan cabang dari akad ijarah (persewaan) atau ju’alah (pekerjaan).

Di dalam akad ijarah, ada pihak yang berlaku sebagai penyewa (ajir) dan yang disewa (musta’jir). Pihak yang disewa berhak atas upah. 

Adapun dalam akad ju’alah, ada pihak yang memberi pekerjaan (ja’il), dan ada pihak yang diberi pekerjaan (maj’ul lah/‘amil). Pihak yang diberi pekerjaan, berhak atas komisi apabila bisa menyelesaikan misi yang disampaikan oleh ja’il.

Nah, dalam akad munadhalah, pihak lawan tanding menempati derajat musta’jir (pihak yang disewa) atau maj’ul lah (pihak yang mendapat proyek/sayembara). 

Yang dikehendaki dari pihak yang disewa atau lawan adu ketangkasan, adalah amal-nya (pekerjaannya) dan bukan uangnya.

الجُعْل يَئُولُ إلى اللُّزُومِ إذا عَمِلَ العَمَلَ

Artinya, “Komisi berlaku apabila pekerjaan itu telah ditunaikan.” (Al-Buhuty, Kasyaf al-Qina’ ‘an Matn al-Iqna’, Beirut: DKI, tt., juz III, halaman 371)

Berawal dari titik sini, maka seharusnya pihak pembeli (lawan adu ketangkasan) tidak dipungut uang.

Dalam faktanya, pada permainan capit claw dan human claw, lawan tanding justru dipungut uang. Apabila lawan tanding tidak bisa menyelesaikan misi, maka uangnya hilang (yughram). 

Itu sebabnya terpenuhi illat yaghnam aw yughram (ada pihak yang kalah atau menang). Dan illat ini adalah identik dengan perjudian. Alhasil, permainan capit claw tersebut tidak termasuk munadhalah melainkan perjudian.

Kesimpulan hukum permainan capit claw

1. bahwa baik permainan capit claw maupun human claw, keduanya memenuhi ta’rif standar dari perjudian (maysir/qimar). Oleh karena itu, kedua permainan itu adalah secara nyata dihukumi sebagai haram syar'an. 

2. Keduanya ada kemungkinan bisa dibenarkan, dengan syarat jika pihak pembeli “bisa dipastikan” mendapatkan barang dalam hal ini boneka. Ketika kondisi ini terjadi, maka akad yang berlaku berubah menjadi akad bai’ munabadzah atau muhaqalah. 

Rusaknya praktik ini, adalah semata karena illat gharar. Namun, satu gharar yang terjadi pada satu akad, masih bisa dibenarkan jika disertai adanya khiyar (opsi melanjutkan atau membatalkan akad). Ketiadaan khiyar, menjadikannya tetap dalam hukum keharamannya. Wallahu A'lam bisshowab..

Sumber: nu.or.id 

Posting Komentar

Posting Komentar

close