Apa Hukumnya Suami Menghisap Payudara Istri, Begini Dalil dan Penjelasan Lengkapnya

Daftar Isi

Bahasan tentang hubungan intim atau hubungan seks dalam adat ketimuran masih terkesan tabu, apalagi untuk masyarakat yang mayoritas Islam yang sangat menjunjung tinggi rasa malu.

Namun dalam bahasan ilmu fiqih (ilmu hukum Islam), hal yang terkesan tabu pun harus dijelaskan dengan detail, agar umat Islam mampu menjalankan Islam secara kaffah sesuai tatanan dan tuntunan yang telah diatur oleh Islam itu sendiri, yaitu berdasarkan Alquran dan hadist.

Langsung ke pokok pembahasan, tentang salah satu permasalahan seksualitas atau perubahan intim menurut hukum Islam, yaitu tentang Bagaimana hukumnya seorang suami yang menghisap payudara istrinya dan bahkan ada yang menelan air susunya.

Ketika seorang suami hendak melakukan hubungan intim dengan istrinya, kadang dia melakukan foreplay atau pemanasan dengan cara menghisap payudara istrinya. Dan hal itu mungkin sudah biasa dilakukan oleh sebagian masyarakat kita sekarang ini. Hal itu tentunya untuk menambah rangsangan dalam melakukan hubungan intim bagi pasutri.

Dalam Islam diatur tentang hukum persusuan. Dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari Muslim, terdapat larangan menikahi saudara yang sepersusuan.

Sehingga dari hal tersebut muncul anggapan menyusu pada istri akan membuat suami menjadi mahramnya alias orang yang dilarang untuk dinikahi.

Hal ini dikarenakan dalam berhubungan intim atau aktivitas seksual, seorang suami terkadang dengan sengaja atau tidak sengaja, ia menghisap puting istri saat periode menyusui. Sehingga sampai tertelan air susunya.

Pasalnya, standar sepersusuan yang bisa menyebabkan perempuan menjadi mahram atau haram dinikahi adalah usianya yang menyusu mencapai dua tahun. Seperti yang dijelaskan dalam Surat Al-Baqarah ayat 233, yang artinya ada di bawah ini.

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ ... (البقرة: 233)

Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuan …” (Al-Baqarah: 233)

Hukum suami menyusu kepada istrinya menurut Nahdlatul Ulama 

Jadi, untuk menjawab apa hukum suami menyusu kepada istri dalam Islam, begini jawaban dan penjelasan dari Nahdlatul Ulama Kabupaten Magelang di situsnya, Pcnukabmagelang.or.id. 

Dijelaskan bahwa mayoritas ulama menyatakan suami boleh menyusu kepada istri. Dalam hal ini, PCNU Magelang juga menampilkan hadist yang diriwayatkan at-Tirmidzi.

وَعَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: لَا يُحَرِّمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ إِلَّا مَا فَتَقَ اَلْأَمْعَاءَ، وَكَانَ قَبْلَ الْفِطَامِ. (رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ هُوَ وَالْحَاكِمُ)

Dan diriwayatkan dari Ummu Salamah Ra ia berkata: ‘Rasulullah bersabda: ‘Suatu susuan tidaklah menyebabkan menjadi mahram kecuali susuan yang mengenyangkan perut, dan hal itu terjadi sebelum bayi disapih dari susuannya.” (HR. at-Tirmidzi, dan ia serta al-Hakim menilainya sebagai hadits shahih). (Ahmad bin Ali ibn Hajar al-‘Asqalani, Bulugh al-Maram min Adillah al-Ahkam, [Kediri: Dar al-‘Ibad, 1439 H/2018 M], ed. Ahmad Muntaha AM, halaman 221).

Saat meriwayatkan hadits ini, Imam at-Tirmidzi menyatakan dengan tegas bahwa, “Ini hadist hasan shahih, dan hukum mengamalkan hadits ini menurut mayoritas ulama dari generasi sahabat dan selainnya adalah, bahwa susuan tidak dapat menyebabkan (wanita yang disusu) menjadi mahram kecuali susuan dalam usia bayi kurang dari dua (2) tahun; dan susuan yang terjadi setelah usia dua (2) tahun maka sungguh sama sekali tidak menyebabkan (wanita yang disusu) menjadi mahram.”

Hukum suami menghisap payudara istri dan Minum Air Susunya menurut Syekh Utsaimin 

Terkait hal tersebut, Syaikh Utsaimin pernah menjelaskan bahwa seorang suami bersenang-senang dengan payudara istrinya, maka boleh.

Apa yang dilakukan suami saat melakukan hubungan intim dengan istrinya terhadap payudaranya, tidaklah haram baginya.

Bahkan, sekiranya hingga meminum air susunya istrinya pun, hal ini tidak menyebabkan haram bagi sang suami, menurut pendapat mayoritas Ahlul Ilmi (Ulama).

Menurut beliau, karena syarat persusuan yang menjadikan mahram (haram dinikahi), adalah jika dilakukan sebelum disapih. Jadi menyusu setelah disapih, tidak menjadikan mahram.

Dua Larangan utama dalam Islam saat berhubungan seks 

Apa yang dijelaskan oleh NU dan Syaikh Utsaimin tersebut, sudah jelas hanya boleh bagi mereka yang berstatus pasutri.

Disisi lain, payudara milik kaum wanita sebenarnya tercipta dengan fungsi utama untuk menyususi anaknya yang masih bayi.

Namun, apabila seorang suami juga ingin melakukan hal tersebut saat melakukan hubungan intim, maka belum ditemukan dalil yang melarangnya. 

Karena larangan dalam Islam saat berhubungan seks dengan pasangan sahnya hanya ada dua poin utama saja:

  1. Menyetubuhi istrinya saat sedang haid dan nifas
  2. Menyetubuhi istrinya lewat anusnya (anal sex)

Demikianlah hukum tentang seorang suami menghisap payudara istrinya menurut penjelasan PCNU Magelang dan Syaikh Utsaimin. Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat bagi pasutri dalam melakukan hubungan intim.

Kisah Keteladanan Abu Musa Al-asy’ari RA Terkait Hukum Menyusui Suami 

Ada sebuah kisah keteladanan terkait masalah yang dibahas kali ini. Kisah ini diriwayatkan dalam kitab al-Muwattha’ dan Sunan Abi Dawud.

Pada masa para sahabat ada seorang suami mendatangi Abu Musa al-Asy’ari Ra untuk meminta fatwa karena ia mengaku telah menyusu istrinya. Lalu Abu Musa RA menghukumi Si Istri menjadi mahram suaminya. Hal itu karena telah menyusu kepadanya. 

Namun setelah mendapatkan keterangan lebih jelas dari Ibn Mas’ud RA yang mengatakan secara tegas: “Tidak ada susuan yang menyebabkan (wanita yang menyusui) menjadi mahram kecuali susuan dalam usia bayi dua (2) tahun,” 

Akhirnya Abu Musa RA mencabut fatwanya. Bahkan sebagai apresiasi kepada Ibn Mas’ud RA, beliau secara jujur menyatakan:

لَا تَسْأَلُونِي عَنْ شَيْءٍ مَا دَامَ هَذَا الْحَبْرُ بَيْنَ أَظْهَرِكُمْ.

Janganlah kalian bertanya (masalah hukum) apapun kepadaku selama ulama agung ini ada di antara kalian.” (Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf as-Syirazi, al-Muhaddzab pada at-Takmilah min Kitab al-Majmu’, [Jeddah: Maktabah al-Irsyad, tth.], juz XX, halaman 85); dan (al-Mula Ali al-Qari, Mirqah al-Mafatih Syarh Misykah al-Mashabih, juz X, halaman 115).

Nah, berdasarkan kisah pencabutan fatwa Abu Musa Al-Asy’ari Ra dan apresiasinya kepada Ibn Mas’ud RA tersebut, tentu hal ini bisa menjadi contoh teladan untuk kita semua, supaya hendaknya orang tidak mudah memutuskan hukum-hukum agama terkecuali telah lengkap atau komprehensif sumber-sumber hukumnya. Apalagi di sekitar kita terdapat banyak ulama yang lebih faqih terhadap permasalahan agama. Selain itu, kisah keteladanan ini juga menginspirasi orang agar tidak pelit mengapresiasi kelebihan orang lain. Wallahu a’lam...

Posting Komentar