cfFp0twC8a3yW2yPPC8wDumW5SuwcdlZsJFakior
Bookmark

Hukum Bermain dan Mendengarkan Musik dalam Perspektif Islam Menurut Habib Ali Al-Jufri

"Temukan pandangan unik Habib Ali Al-Jufri tentang hukum bermain dan mendengarkan musik dalam Islam. Apakah musik benar-benar haram? Baca lebih lanjut di sini."

Perdebatan dan Perspektif Islam tentang Musik

Perdebatan panjang tentang hukum bermain musik dan mendengarkan musik dalam Islam selalu menarik perhatian umat Muslim. Dalam sebuah Seminar Ilmiah di Delta University for Science and Technology, Talkha, Mesir, yang dipandu oleh Habib Ali al-Jufry, topik kontroversial ini disoroti secara mendalam.

Perbedaan Pendapat di Antara Ulama

Habib Ali al-Jufri menyoroti fakta bahwa dalam pandangan empat madzhab utama dalam Islam, tidak ada kesepakatan mutlak mengenai hukum bermusik. Bahkan dalam satu madzhab pun, tidak terdapat kesepakatan yang tegas mengenai keharaman musik. Perbedaan pendapat tentang musik di kalangan ulama telah ada sejak zaman awal Islam dan bahkan di antara para sahabat Nabi.

Musik dan Islam - Perspektif Sejarah

Menariknya, sejarah mencatat bahwa pada masa Nabi Muhammad SAW, musik tidak dilarang secara kategoris. Bahkan, musik diizinkan dalam acara-acara perayaan seperti hari raya atau pernikahan, serta dalam aktivitas sehari-hari umat Islam.

Riwayat yang Mencerahkan

Habib Ali al-Jufri memberikan contoh riwayat menarik tentang pemahaman Nabi Muhammad SAW terhadap musik. Salah satunya adalah riwayat tentang Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib, suami Sayyidah Zainab Ra, yang mengadakan pertunjukan musik di hadapannya. Riwayat ini terkenal di masyarakat Hijaz. Bahwa dahulu beliau mendirikan majelisnya di dekat pembantu-pembantu perempuannya yang bersenandung untuk beliau dengan alat musik.

Dalam riwayat lain, Rasulullah Saw dikisahkan sedang mendengarkan rebana yang dibawakan gadis-gadis yang bernyanyi bersama Aisyah di dalam rumah Rasulullah saat hari raya. Mereka bernyanyi sambil menabuh rebana kemudian Abu Bakar masuk dan berkata, “Apa pantas suara setan ada di dalam rumah Rasulullah?”

Abu Bakar bermaksud menghentikan mereka, mendengar itu Rasulullah Saw yang sedang istirahat lalu beliau terbangun dan membuka selimut, kemudian bersabda, “Biarkan mereka wahai Abu Bakar, ini hari raya.”

Kebijaksanaan Rasulullah dalam Menghormati Budaya

Rasulullah SAW juga menunjukkan sikap bijaksana dalam menghormati budaya dan tradisi orang lain.

Di lain kesempatan, Umar bin Khattab saat hari raya melihat orang-orang Afrika menari-nari dalam masjidnya Rasulullah sambil memainkan senjata, dalam tiga riwayat dalam kitab Imam Bukhari Muslim dikatakan mereka menari zafin, sementara dalam riwayat Imam Nawawi dijelaskan mereka menari sambil memainkan busur panah di dalam masjid. Menari dengan memainkan senjata merupakan budaya orang Afrika.

Tapi Rasulullah Saw menyaksikan tarian mereka. Dalam tarian tersebut mereka juga menyanyikan pujian untuk Rasulullah dengan bahasa Afrika yang artinya; Muhammad adalah orang baik.

Tapi Sayyidina Umar mengambil kerikil sambil berkata, “Apa yang kalian lakukan dalam masjid.” Lalu Rasulullah bersabda, “Wahai Umar, ini hari raya.” Kalau dalam riwayat lain Rasulullah bersabda, “Wahai Umar mereka ini suku Anjasyah,” maksudnya ini budaya mereka.

Sebenarnya orang Arab Makkah, tidak mengenal budaya menari di tempat yang disucikan, seperti orang Afrika yang memiliki budaya menari di tempat yang mereka muliakan. Ini merupakan pesan Rasulullah kepada Umar untuk menghargai budaya orang lain. Teguran Rasul terhadap Umar ini mengandung pesan, salah satunya agar orang yahudi tahu bahwa agama Islam itu fleksibel. Menghormati ‘urf (tradisi) termasuk dalam ajaran Islam.

Dalam riwayat lain diceritakan Rasulullah menoleh pada aisyah yang tengah berada di kamarnya, beliau berkata, “Wahai aisyah apa kamu mau menonton pertunjukan mereka?” Aisyah berkata, “Iya rasulullah aku mau menonton mereka.” Rasulullah berdiri di pintu dan Aisyah berdiri di belakangnya sambil menonton lalu selang beberapa saat Rasulullah menoleh, “Apa cukup Asiyah?” Aisyah menggeleng, “Belum Rasulullah saya masih mau menonton.”

Aisyah menceritakan dalam riwayat tersebut, “‘sampai aku bosen,’ Sedang Rasulullah masih berdiri, kemudian aku letakkan pipiku di bahu Rasulullah lalu Rasulullah membawaku masuk ke kamar.”

Perspektif Ulama Terkemuka

Habib Ali al-Jufri menjelaskan bahwa lebih dari 30 ulama besar dari empat madzhab utama Ahli Sunnah wal Jamaah berpendapat bahwa hukum mendengarkan alat musik tidak hanya bergantung pada alatnya, tetapi lebih pada dampaknya pada pendengar. 

“Jika mendengarkan alat musik tersebut berdampak positif pada diri orang tersebut maka mendengarkannya pun positif,” jelasnya.

Salah satu ulama yang berpendapat demikian di antaranya Imam Ghazali, salah satu ulama terbesar, pakar fikih dalam madzhab syafi’i. Seorang ulama yang telah melahirkan banyak karya di antaranya kitab al-Basith, al-Wasith, al-Wajiz. Bahkan beliau punya kitab al-Mustasyfa dalam bidang ushul fiqih yang terbilang sebagai kitab ushul terkuat dalam madzhab syafi’i.

Sejumlah ulama besar juga berpendapat demikian, “lalu apakah ini ajakan terbuka untuk kaum milenial agar mendengarkan lagu? tidak, tapi ini ajakan untukku dan untukmu agar tidak menyempitkan hal yang luas,”

Habib Ali Al-Jufri berharap agar umat Muslim mengambil dari luasnya perbedaan para ulama ini untuk menumbuhkan kepekaan dalam diri. Boleh mengikuti pendapat ulama yang membolehkan mendengarkan musik selama berdampak baik, dengan tujuan untuk memantau kepekaan diri. Terlebih jika lagunya berlirik; Dia memanggilku aku menjawabNya, aku datangi pintuNya, saat Dia pancarkan cahayaNya ku panggil dia dengan air mataku. (Lagu Ummi Kulsum)

Klasifikasi Pendengar Musik

Habib Ali Al-Jufri mengklasifikasikan pendengar musik menjadi tiga tipe. Pertama, komposer yang fokus pada notasi musik. Kedua, mereka yang merasakan makna dalam musik dan menghubungkannya dengan rasa cinta kepada Allah. Ketiga, mereka yang terpengaruh negatif oleh musik, seperti terjerumus dalam perbuatan dosa seperti zina dan mabuk-mabukan.

Jadi sebelum memutuskan tentang hukum haramnya musik, maka perlu diketahui tentang tiga tipe tersebut. 

Pertama tipe komposer, mereka yang setiap mendengar musik telinganya selalu fokus pada notasi, apakah nada, kord, dan harmoni antara alat musiknya menyatu atau tidak.

Kedua tipe yang menghayati makna. Menghayati makna tersebut bisa menggerakkan hatinya untuk rindu kepada Allah yang menciptakan keindahan yang terdengar dari gabungan suara alat musik dengan suara manusia. “Bahkan mendengarkan lagu itu tidak haram jika itu menjadi perantara kembalinya seseorang yang nyaris putus dengan tunangannya,” jelas Habib Ali.

Ketiga tipe pendengar yang karena mendengarkan musik ia jatuh pada larangan agama. Seperti berzina dan mabuk-mabukan. Yang mana itu alasan sebagian ulama mengharamkan musik. Sebab dahulu umumnya pada masa para ulama tersebut musik identik dengan miras dan praktek seksual.

Yang dilarang adalah jika suara dan alunan serta getaran musiknya itu berdampak negatif bagi orang yang mendengarkan, maka mendengarkan musik menjadi haram dalam keadaan yang seperti itu.

Itu sebab ada sebagian ulama terdahulu yang mengharamkan. Meski nyatanya tidak ada satupun hadits yang shahih yang mengharamkan alat musik  dan itu diakui oleh empat madzhab. Garis besarnya, ini masalah yang sangat luas maka jangan sempitkan hal yang luas. 

Kesimpulan dan Pesan Penting

Dalam kesimpulan, Habib Ali Al-Jufri mengingatkan kita bahwa hukum tentang musik tidaklah sederhana dan kaku. Sebaliknya, sangat bergantung pada dampak yang ditimbulkan pada individu. Sebagian ulama melarang musik karena dampak negatif yang mungkin timbul, seperti halnya dengan perilaku negatif yang dulu sering terkait dengan musik seperti miras dan perbuatan tidak senonoh.

Dengan demikian, penting bagi umat Muslim untuk memahami keragaman pandangan ulama ini dan menjadikannya sebagai pangkal diskusi yang lebih luas tentang musik dalam Islam. Penting juga untuk menghormati pandangan yang memungkinkan mendengarkan musik selama itu membawa dampak positif, dengan tetap menjaga nilai-nilai agama. Semua ini adalah bagian dari kekayaan dan fleksibilitas agama Islam. Wallahu’alam.


Posting Komentar

Posting Komentar

close