Hukum Berpuasa Ramadhan Bagi Wanita Hamil dan Menyusui, Wajibkah?

Daftar Isi
Mengenai hukum Berpuasa Ramadhan Bagi Wanita Hamil dan Menyusui, para ulama berbeda pendapat. Berikut ini rincian pendapat mereka,
  1. Keduanya (wanita hamil dan menyusui) hanya wajib mengqadha. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah RA. Yang berpendapat seperti ini dari kalangan shahabat adalah Ali bin Abi Thalib RA. Kalau dia khawatir terhadap dirinya, maka dia hanya wajib mengqadhanya. 
  2. Jika wanita tersebut khawatir terhadap anaknya, maka dia harus mengqadha dan membayar fidyah, yaitu dengan memberi makan orang miskin untuk setiap hari dimana dia tidak berpuasa. Imam syafi’i dan Imam Ahmad memilih pendapat ini. Al-Jassos menyatakan bahwa ini adalah pendapat Ibnu Umar RA.  
  3. Kedua golongan wanita tersebut hanya memberi makan saja tanpa mengqadha. Pendapat ini bersumber dari Ibnu Abbas RA. Ibnu Qudamah menyatakan dalam kitab Al-Mughni (3/37) bahwa pendapat ini juga berasal dari Ibnu Umar RA.
Diriwayatkan dari Abu Dawud (2318) dari Ibnu Abbas RA berkaitan dengan ayat:
وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهُ فِدْيَة طَعَامُ مِسْكِيْن
"Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin". (QS. Al-Baqarah: 184)

Ayat ini memberikan keringanan kepada orang tua renta, baik laki maupun perempuan, apabila merasa berat berpuasa dia boleh berbuka dan memberi makan satu orang miskin untuk sehari yang ditinggalkan. 

Adapun bagi wanita yang mengandung dan menyusui, jika keduanya khawatir (Abu Dawud berkata: Maksudnya kalau khawatir kepada anak-anaknya) juga boleh berbuka (tak berpuasa) dan (sebagai gantinya) memberi makan (orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan).” Imam Nawawi berkata: Sanadnya hasan.

Al-Bazzar juga meriwayatkannya, dan dia menambahkan diakhirnya: 
Ibnu Abbas berkata kepada seorang ibu yang sedang mengandung: Engkau sama seperti orang yang tidak mampu berpuasa, maka kamu harus membayar fidyah dan tidak perlu mengqadhanya.” 

Sanadnya dishahihkan oleh Ad-Daruquthni sebagaimana dikatakan oleh Al-Hafidz dalam kitab Talkhisul Habir.

Al-Jashshash dalam kitabnya, Ahkamul Qur’an, menjelaskan bahwa para shahabat dalam masalah ini berbeda pendapat. Beliau berkata: “Para ulama’ salaf berbeda pendapat dalam hal ini menjadi tiga pendapat.
  1. Ali RA berkata: Keduanya (wanita hamil dan menyusui) harus mengqadha jika berbuka (tak berpuasa) dan tidak perlu membayar fidyah.
  2. Ibnu Abbas RA berkata: Keduanya membayar fidyah tanpa harus mengqadha’.
  3. Ibnu Umar RA berpendapat: Keduanya harus membayar fidyah dan mengqadha’nya.”

Dalil Pendapat yang mengatakan harus mengqadha saja adalah:

1. Apa yang diriwayatkan oleh Nasa’i (2274) dari Anas RA dari Nabi SAW bersabda: 

"Sesungguhnya Allah menggugurkan bagi musafir separuh shalat dan puasa. Begitu pula bagi orang hamil dan menyusui". Hadits shahih dalam Shahih Nasa’i.

Rasulullah SAW menjadikan hukum wanita hamil dan menyusui sama seperti musafir. Maka, jika musafir membatalkan puasanya, kemudian wajib baginya mengqadha, begitu pula wanita hamil dan menyusui. Lihat kitab Ahkamul Qur’an, karangan Al-Jashshos.

2. Wanita hamil dan menyusui diqiyaskan (dianalogikan) dengan orang sakit. Maka, jika orang sakit berbuka dan mengqadha’, begitu juga wanita hamil dan menyusui. (lihat Al-Mughni, 3/37, dan Al-Majmu’, 6/273).

Pendapat ini dipilih oleh sebagian ulama.

Pendapat Syaikh Bin Baz RA dalam Majmu’ fatawa (15/225):

Wanita hamil dan menyusui hukumnya seperti orang sakit. Kalau dia merasa kepayahan maka dia dibolehkan berbuka dan harus mengqadhanya ketika mampu, seperti halnya orang sakit. 

Sebagian ulama berpendapat, cukup memberikan makan saja, pengganti dari setiap hari yang ditinggalkan, satu orang miskin. Akan tetapi pendapat ini lemah dan marjuh (tidak kuat). Yang benar adalah keduanya, yaitu harus mengqadha seperti halnya musafir dan orang sakit. Berdasarkan firman Allah, artinya;

“Dan siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain “. (QS. Al-Baqarah: 184)

Beliau juga berkata dalam Majmu’ Fatawa (15/227):

“Yang benar bahwa orang hamil dan menyusui harus mengqadha’nya. Sementara yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar RA bahwa orang hamil dan menyusui cukup memberi makan (orang miskin) adalah pendapat yang lemah dan bertentangan dengan dalil agama.

Allah berfirman, artinya, “Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185)

Jadi, orang hamil dan menyusui dianalogikan dengan orang sakit, bukan dianalogikan dengan orang tua renta yang lemah. Maka, dihukumi seperti orang sakit yang harus mengqadhanya ketika mampu meskipun terlambat melaksanakannya.”

Dinyatakan dalam Fatawa Lajnah Daimah (10/220):

“Jika wanita hamil khawatir terhadap jiwa dan janinnya apabila dia berpuasa, maka dia boleh berbuka dan harus mengqadha’nya. Masalah ini seperti permasalahan orang sakit yang tidak kuat berpuasa atau takut membahayakan dirinya ketika berpuasa.

Allah berfirman, artinya, “Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185).

Begitu pula dengan wanita menyusui, kalau dia khawatir kepada dirinya atau kepada anaknya apabila berpuasa, maka dia dibolehkan berbuka dan harus mengqadha saja.”

Dinyatakan pula dalam Fatwa Lajnah Daimah (10/226):

“Adapun orang hamil, dia tetap wajib berpuasa. Kecuali kalau dia khawatir terhadap diri dan janinnya apabila berpuasa, maka dia diberi keringanan untuk berbuka dan mengqadhanya setelah melahirkan dan suci dari nifas. Tidak diterima jika memberikan makan (orang miskin) sebagai pengganti puasa. Dia harus berpuasa (sebagai penggantinya), tidak perlu memberi makan.

Syaikh Ibnu Utsaimin RA berkata dalam kitab Syarhul Mumti’, setelah beliau menyebutkan perbedaan para ulama’ dalam masalah ini, sampai terakhir beliau memilih pendapat bahwa keduanya wajib mengqada saja. Beliau berkata: “Pendapat ini, menurutku, adalah yang paling kuat . Karena kondisi yang paling dekat dengan keduanya adalah seperti orang sakit dan musafir, maka harus mengqadhanya saja. Wallahu a'lam.

Sumber: www.islamqa.com